Cara Menghitung Pajak Penghasilan bagi Dokter. Mengenai pemotongan pajak
penghasilan bagi dokter banyak juga kita jumpai ada Dokter yang bertindak
sebagai pegawai tetap di RS tertentu yang pada akhir tahun mendapatkan
penghitungan PPh Pasal 21 atas Dokter dengan mendapatkan lampiran SPT 1721 A1
juga melakukan praktek di RS lain dengan status sebagai tenaga part time yang
setiap bulannya mendapatkan bukti potong PPh Pasal 21 Dokter dari RS tersebut.
Apabila demikian dapat dipastikan bahwa perhitungan di akhir tahun setelah di
lakukan penggabungan antara 1721 A1 dan bukti potong maka menjadi kurang bayar.
Apa saja penghasilan yang diterima Dokter?
Dokter karena keahliannya atau kegiatannya dapat menerima penghasilan yang
berupa :
1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait
dengan gaji, sebagai pegawai tetap;
2. Honorarium, komisi, atau fee sebagai tenaga ahli;
3. Uang saku, uang presentasi, uang rapat karena dokter
sebagai peserta kegiatan.
4. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan
dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi
produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya;
5. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek;
Bagaimana Cara Menghitung Pajak Penghasilan bagi Dokter ?
Untuk mengetahui berapa PPh yang harus dibayar atau dilunasi dokter atas
penghasilan yang diterimanya, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa pembayaran
atau pelunasan PPh dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu :
1. Pemotongan/Pemungutan oleh pihak pemberi penghasilan
dalam hal ini bisa RS maupun klinik tempatnya bekerja;
2. Penyetoran sendiri oleh Wajib pajak setelah menghitung
dan memperhitungkan PPh terhutang selama satu tahun apabila melakukan pekerjaan
bebas maupun bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja.
Besarnya PPh atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan serta pembayaran
lainnya yang terkait dengan gaji, honorarium, komisi atau fee, hadiah, bonus,
gratifikasi, uang saku, uang presentasi dan uang rapat, yang diberikan oleh
pemberi kerja yang ditunjuk sebagai pemotong, ditentukan melalui penghitungan
yang dilakukan oleh pemberi kerja tersebut. PPh yang terhutang ini disebut juga
dengan PPh Pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 di UU PPh.
Tarif yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter (tenaga
ahli) adalah :
1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Dasar Pengenaan
dan Pemotongan PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan dan Pemotongan ditentukan sebesar
50% dari jumlah bruto; dan
2. Tarif 15% dari jumlah bruto (bersifat Final) khusus untuk
penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir, uang lembur, imbalan prestasi
kerja, dan imbalan lain dengan nama apapun yang dananya berasal dari APBN/APBD
serta yang menerimanya PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara golongan III/a ke atas atau
Letnan Dua ke atas.
Cara Menghitung Pajak Penghasilan bagi Dokter sebagai berikut :
1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait
dengan gaji, karena sebagai pegawai tetap.
Misalnya Dokter Setiawan (status sendiri dan tidak mempunyai
tanggungan) pegawai tetap di RS Raja Sehat dengan gaji dan tunjangan sebulan Rp
15.000.000,-
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi
kerja :
Gaji + Tunjangan setahun
15.000.000 x 12 = Rp180.000.000,-
Pengurang :
Biaya jabatan (5%x jumlah bruto
penghasilan setahun, maksimal Rp6.000.000) = (Rp 6.000.000,-)
PTKP Sendiri (TK/-) = (Rp
15.840.000,-)
Penghasilan Kena Pajak = Rp158.160.000,-
PPh Pasal 21 terhutang :
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh x PKP =
5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000
15% x Rp108.160.000,- = Rp16.224.000
Total Rp18.724.000
Dokter Setiawan wajib menerima bukti potong PPh pasal 21 dari Rumah Sakit Raja
Sehat.
2. Honorarium, komisi atau fee, uang saku, uang presentasi,
uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD ataupun yang bukan.
a. Misalnya Dokter Setiawan
(PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium yang dananya dari APBN/APBD sebesar
Rp10.000.000.
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus
dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
15% xRp10.000.000 = Rp1.500.000,-
Pemotongan PPh Pasal 21 ini bersifat
final atau tidak diperhitungkan lagi dengan penghasilan lainnya sehingga sudah
selesai penghitungan PPh, namun tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan PPhnya
(melampirkan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut).
b. Misal Dokter Sammy (swasta)
menerima uang presentasi yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000, dari
Departemen Kesehatan.
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus
dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
5% x (50% x Rp10.000.000,-) =
Rp250.000,-
Dokter Sammy (swasta) wajib menerima
bukti potong PPh Pasal 21 dari Departemen Kesehatan dan menghitung kembali
penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.
c. Misal Dokter Setiawan (swasta
ataupun PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium pada bulan Maret 2009 sebesar
Rp30.000.000. dari Rumah sakit Raja Sehat
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus
dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
5% x (50% x Rp30.000.000,-) =
Rp750.000.-
Dokter Setiawan wajib diberikan
bukti potong PPh Pasal 21.
Catatan :
Apabila penghasilan tersebut
diberikan karena pekerjaan atau jasanya bersifat berkesinambungan baik
berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.
Misalnya di bulan April 2009 Dokter
Setiawan juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Raja
Sehat (bulan Maret 2009 telah menerima Rp30.000.000,-), sehingga jumlah
kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari
jumlah kumulatif tersebut adalah 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- ,
sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Raja
Sehat adalah :
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000,-
15% x Rp5.000.000 = Rp 750.000,- (+)
Total Rp3.250.000,-
Karena bulan Maret telah dipotong
Rp750.000,-, maka bulan April PPh yang harus dipotong Rp3.250.000,- - Rp750.000
= Rp2.500.000
* Jumlah penghasilan bruto bagi
Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar
jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Misalnya, Pasien Andi membayar
tagihan Rumah Sakit Raja Sehat sebesar 25 juta, dengan rincian uang obat
Rp5.000.000,- dan uang jasa Dokter Setiawan sebesar Rp20.000.000,-. Rumah Sakit
Raja Sehat menerima bagi hasil dari uang jasa Dokter Setiawan sebesar 50% dari
jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).
Rumah Sakit Raja Sehat memotong PPh
Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Dokter B dari jumlah penghasilan bruto
Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil
atau Rp10.000.000,-. Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Raja Sehat
adalah : 5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-
* Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan
dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi
produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya.
Misalnya Dokter Setiawan (bukan pegawai tetap di PT Medika)
menerima hadiah berupa tiket pesawat dan akomodasinya dari PT Medika senilai
Rp50.000.000.
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi penghasilan
:
5% xRp50.000.000 = Rp2.500.000,-
Dokter Setiawan wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21
dari PT Medika dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan
PPh-nya.
Apabila dari hadiah tersebut ternyata tidak dilakukan pemotongan
PPh Pasal 21 dari PT Medika, maka Dokter Setiawan wajib menghitung dan membayar
sendiri Pajak Penghasilan dari hadiah tersebut di dalam SPT Tahunan PPh-nya.
* Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek Dokter
yang menerima penghasilan dari membuka praktek dapat menghitung PPh melalui 2
cara yaitu pembukuan atau pencatatan.
a. Pembukuan.
Laba usaha baik dari praktek maupun
pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli di Rumah sakit/Klinik
Kesehatan, didapat dari hasil laporan Rugi Laba. Apabila Untung maka atas
keuntungan tersebut dikenakan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah
terlebih dahulu dikurangi dengan PTKP setahun.
Misalnya Dokter Vanny
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama
satu tahun :
Peredaran bruto/Omzet :
Rp500.000.000
Pengurangnya :
Biaya operasional (gaji pegawai,
peralatan, Obat, listrik, dll) :(Rp300.000.000)
Penghasilan neto : Rp200.000.000
Apabila Dokter Vanny sumber
penghasilannya hanya dari praktek, maka PPh terhutang
Penghasilan neto Rp200.000.000,-
Pengurang
PTKP (tk/-) (Rp 15.840.000,-)
PKP Rp184.160.000,-
PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15%x Rp134.160.000 = Rp20.124.000 +
Total Rp22.624.000,-
b. Pencatatan
Laba usaha dari praktek maupun
pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli, didapat dari peredaran atau
penerimaan bruto (omzet) selama satu tahun dikalikan norma penghitungan
penghasilan neto (misalnya untuk praktek di Jakarta ditentukan norma
penghasilan nettonya 45%).
Hasil perkalian (Penghasilan neto)
tersebut dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih
dahulu dikurangi PTKP.
Misalnya Dokter Anggita memperoleh
penghasilan dari praktek di Jakarta dengan peredaran atau penerimaan bruto
(omzet) setahun Rp300.000.000, dan dari Rumah Sakit Raja Sehat sebagai dokter
tamu (praktek) Rp200.000.000,- (PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Rumah Sakit
Raja Sehat sebesar Rp5.000.000,-).
PPh terutang : Peredaran bruto
setahun (Rp300.000.000,- + Rp200.000.000 = Rp500.000.000,-)
Penghasilan Neto Rp500.000.000 x 45%
= Rp225.000.000
Pengurang :
PTKP (tk/-) =(Rp 15.840.000)
PKP Rp209.160.000,-
PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp159.160.000 =
Rp23.874.000.-+
Total Rp26.374.000,-
PPh yang harus disetor Dokter Anggita
ke Bank Persepsi atau Kantor Pos ( diasumsikan Dokter Anggita tidak memperoleh
penghasilan lain pada tahun tersebut adalah : Rp 26.374.000,- - Rp5.000.000,- =
Rp21.374.000,00
Konsultan Pajak siap membantu anda menghitung PPh bagi Dokter.
Email : camdenkapital@gmail.com
Website : www.camdenpajak.id | http://www.binajasakonsultanpajak.blogspot.com
0 komentar :
Posting Komentar